Selasa, 29 Desember 2015

WAYANG DAN PENGARUH PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI JAWA



WAYANG DAN  PENGARUH PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI JAWA

Dalam Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang. Kesenian Wayang Kulit merupakan Seni Pertunjukan  yang menjadi Warisan Seni Budaya Indonesia yang paling menonjol diantara Warisan Budaya lainnya yang ada di Indonesia, Kesenian asli Pulau Jawa ini bisa dikatakan telah mewakili hampir semua bidang Seni yang di gelar dalam satu pertunjukan, diantaranya Seni Peran, Seni Musik, Seni Rupa serta Sastra. Wayang kulit adalah Kesenian Indonesia yang sangat tua yang telah berusia lebih dari lima abad.

Menurut para ahli Sejarah, Wayang Kulit telah ada di Indonesia jauh sebelum Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak. mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.      

Kemudian, ada perubahan cerita yang semakin jauh dari aslinya di zaman islam. Yang pada awalnya bercerita tentang Ramayana dan mahabarata sdikit bergeser. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.



TRADISI BANCAKAN SEDEKAH BUMI



TRADISI BANCAKAN SEDEKAH BUMI
Ds. Purwosari kec. Tlogowungu kab. Pati

Acara Bancakan sedekah bumi ( syukuran sedekah bumi ) merupakan wujud syukur dan rasa terima kasih bagi para penduduk desa kepada ALLAH SWT, yang telah diberikan keberkahan dan kemudahan dalam menggarap lahan tanaman atau bertani bagi masyarakat desa. Seperti kebanyakan adat daerah lain di jawa, acara bancakan ini adalah makan bersama satu desa dengan menu ala pedesaan.
Seluruh masyarakat desa akan berkumpul di balai desa dengan membawa berkat (nasi) sebagai rasa syukur mereka kepada ALLAH SWT. Mereka berdoa dengan dipimpin sesepuh desa atas panen yang telah di berikan oleh ALLAH SWT. Dan mereka berharap untuk panen yang akan datang diberikan hasil panen yang berlimpah.
Acara bancakan sedekah bumi ini biasanya di adakan pada malam hari ba’da magrib. Dan acara ini di acara bancakan ini biasanya di laksanakan sebelum acara-acara sedekah bumi seperti wayang semalam suntuk, ketoprak, pengajian atau orkes dangdut.
Inti dari acara bancakan sedekah bumi ini untuk memulai runtutan acara sedekah bumi untuk bersyukur kepada ALLAH SWT dan juga leluhur desa. Supaya masyarakat tidak hanya diberikan kemudahan dalam bertani, tapi juga selalu di beri keselamatan, keberkahan, kemudahan dalam melaksanakan kehidupan mereka sehari-hari.

SEJARAH SYEKH AHMAD MUTAMAKIN, KAJEN - PATI



SEJARAH SYEKH AHMAD MUTAMAKIN, KAJEN - PATI
Syeh Ahmad Mutamakin adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa terkhusus wilayah Pati. Beliau juga seorang yang arif dan bijaksana. ia pernah mencari ilmu sampai ke negeri – negeri Arab selama bertahun-tahun. belajar ilmu-ilmu dibidang Syariat, selanjutnya belajar Thoriqoh menurut dorongan hatinya, sebagai landasan hidupnya.

Dalam perjalanannya mencari ilmu itu, beliau mendapat seorang guru besar bernama Syaikh Zain Al- Yamani. Setelah beberapa lama berguru, beliau mendapat pengesahan resmi dari guru besar tersebut, ia mohon pamit pulang ke Jawa pulang untuk segera mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya.

Beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Cebolek untuk menyebarkan Agama Islam sampai kepedalaman, beliau memasuki wilayah baru. Dan bertemu dengan H. Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Surya Alam, sehingga nama wilayah itu Kajen dari kata “Kaji Ijen”. Beliau mendapat kepercayaan dari H. Syamsudin untuk ditempati dan mengolah daerah tersebut menjadi Desa yang dapat mengenal Agama Islam.

Selain belajar dan meperdalam Ilmu Pengetahuan agama dengan bersungguh-sungguh, ia juga belajar melatih jiwa dalam mengendalikan hawa nafsu, beliau pernah melatih dengan puasa, disaat mau buka puasa, beliau memasak yang paling lezat. Kemudian beliau mengikat diri dan tangannya pada tiang rumah. Masakan yang tersaji di maja makan hanya ia pandangi saja. Beliau mau menguji tingkat kesabaran hatinya. Namun yang keluar kedua ekor anjing.[4] Yang bernama Abdul Qohar dan Qumarudin sebagai lambang nafsu yang keluar dari diri manusia. Kuda mahluk tersebut memakan habis hidangan yang berada di meja makan. Pemberian nama pada kedua anjing tersebut seperti nama seorang penghulu dan khotib Tuban.

Garis Keturunan Syeh Mutamakkin

Diceritakan bahwa raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo ( Raden Hadiningrat ) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo ( Raden Sumohadinegoro ) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
Adapun Dalam masa hidupnya syech Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syech Muhammad Zayn al-yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan syech Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syech Zayn ( Syech Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syech Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syech Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu. Dan juga Syeh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid besar seperti Kyai /Syeh Ronggo Kusumo,Kyai Mizan, R. Sholeh dan murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.
MAKAM SYEKH AHMAD MUTAMAKIN, KAJEN - PATI
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWNBt-I3HGonovkXrJO9c1J7nyG46vcvyajHJ9A7dkgXQ-RKn0SqWPIOmY9WWkMqQg49di-CUrwQ780PIlGMoDCqHyoq1rWznXzp564aF1w1o1poQQJURGqJdjN5XmUIV2l973hZmkoRvj/s1600/kajen.gif